Puisi "Pengamen Jalanan"
Saat geliat fajar berkeringat
Terlihat beku dalam ingat
Hanya angin sendu nafasku
Teringat bayang lelah wajahmu
Hanya angin sendu nafasku
Teringat bayang lelah wajahmu
Kumainkan lagi musik tua
Kunyayikan lagi lagu lama
Kudongengkan
lagi cerita suka
Tatkala dihibur duka
Tatkala dihibur duka
Debu tampak ikut serta
Demi sereceh iba jua
Biarpun seorang pengamen
Simpan senyum dalam kaleng-kaleng
Biarpun seorang pengamen
Simpan senyum dalam kaleng-kaleng
Jreng,
jreng, jreng
Pinta hatiku, minta tawamu
Pinta hatiku, minta tawamu
Kresek,
kresek, kresek
Minta
uangmu, pinta matiku
Mereka ingin dimengerti
Berjerih salah, diampun salah
Berjerih salah, diampun salah
Tak tau apa harus dikata
Meski digelandang tunggang langgang
Terima
galak tawa rerumputan
Dilambai
hempasan dedaunan
Salahkah aku begini ?
Ku hanya ingin mereka tahu, inilah aku
Ku hanya ingin mereka tahu, inilah aku
Berpijak pada tumpuan kaki sendiri
Bersandar pada tulang punggungku kini
Bersandar pada tulang punggungku kini
“Aku lebih mulia !, tapi terhina”
Direndahkan
tanpa ampun
Sorot
wajah hanya membelalak
Pada
koran usang, cabik terkoyak
Melihat
wajah setan-setan berdasi
Makan uang rakyat tanpa basa-basi
Aku tahu , aku mungkin sampah bagimu
Aku tahu, engkau para tuan-tuan
Bertitel S, sedang aku ini apalah ?
Tak punya
embel-embel apapun
Aku rasa Aku mulia
Dari engkau yang memakan bangkai
Sedang aku hanya meneguk keringat
Tak apalah
Meski kami golongan pinggiran
Tak sekolah sekali pun
Tapi, kami abadi
Tanpa korup, dengan darah seni
Mungkin aku tidaklah kuat
Tapi aku bukan orang yang lemah
Yang sembunyi di balik raga yang tidak
dikenal
Inilah aku dan ini hidupku